Tradisi Perang yang Masih Lestari di Bali

Samudra Biru - Tradisi Perang yang dimaksud bukanlah perang yang menimbulkan korban  hingga kehilangan nyawa sebagaimana perang yang sesungguhnya. Tradisi Perang yang Masih Lestari di Bali hingga kini yaitu beberapa perang yang memakai simbol atau peralatan tradisional meskipun ada beberapa yang hingga mengeluarkan darah dari tubuh mereka semua memiliki maksud dan tujuan. Apa saja Tradisi Perang yang masih Lestari di Bali kali ini samudra biru mencoba merangkum menjadi satu, mari kita simak sama-sama.

1. Perang Ketupat
Jika Tradisi Perang yang satu ini jauh dari imej darah, senjata, granat dan mesin perang lainnya. Perang Ketupat namanya. Perang ini adalah sebuah ritual tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Propinsi Bali.


Penampilan perang tersebut cukup menggetarkan penonton, karena puluhan ketupat yang dibawa dua kelompok yang bertikai, dipakai alat “Aksi saling lempar ketupat ini berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Terkadang tak jarang ada ketupat “nyasar” kearah penonton atau fotografer yang tengah mengabadikan momen ini. Walau begitu, tidak ada seorang pun yang marah dan ketika perang berakhir, semua orang berjabat tangan dengan penuh suka cita menimpuk” lawan satu sama lain.

Perang Ketupat merupakan bentuk rasa terima kasih warga kepada Sang Hyang Widhi atas panen juga sebagai doa agar terhindar dari kekeringan.Perang dalam kemasan seni tersebut ditampilkan oleh duta seni Kabupaten Badung.
Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, kabupaten Badung, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi.

Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari.

Perang ketupat itu ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat. Ritual ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di pura setempat. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Ketupat ini.

2. Perang Pandan
Tradisi Perang Pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan, Manggis , Karangasem, Bali dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari.

Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.

Bali hingga kini tetap melestarikan atraksi kuno yang menyuguhkan pemandangan kontras. Salah satu sisinya menampilkan atraksi menegangkan para pengunjung. Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya.

Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. 

Bahkan, tidak sedikit pasangan tanpa menggunakan tameng langsung berpelukan dan saling melukai.Atraksi saling melukai dengan wajah senyum ceria itu dikenal bernama perang pandan. Di Bali, perang pandan adalah atraksi khas masyarakat Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Pulau Dewata. 

Jarak komunitas ini sekitar 70 kilometer dari Kota Denpasar atau membutuhkan waktu lebih kurang 70 menit dengan kendaraan roda empat.

Masyarakat Tenganan, sebagai ahli waris tradisi kuno itu, sejak lama selalu setia mementaskan perang pandan. Tradisi itu biasanya dilaksanakan sekitar pertengahan Juni. Seperti disaksikan, ribuan pengunjung seakan tumpah ke Kampung Bali Aga itu. Mereka berasal dari berbagai perkampungan di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Juga tidak sedikit di antaranya adalah wisatawan asing dari Eropa, Jepang, Taiwan, dan berbagai negara lainnya.


Karena merupakan tradisi khas milik Tenganan, tempat pelaksanaannya pun hanya di kawasan tersebut. Persisnya di Tenganan Pegringsingan (TP) dan Tenganan Dauh Tukad (TDT), dua desa adat bertetangga rapat yang hanya dibatasi alur sungai.Namun, perang pandan di TDT sejak tahun lalu terpaksa batal dilaksanakan karena kampung yang hancur akibat gempa dahsyat tanggal 2 Januari 2004, hingga kini belum sepenuhnya pulih.

Sesungguhnya, TP dan TDT adalah pemekaran dari induk yang sama, Desa Adat Tenganan. Namun, belakangan, hanya desa dinas (pemerintah) yang tetap bertahan dengan satu kesatuan wilayah Tenganan seluruhnya. Sementara desa adatnya telah mekar menjadi dua wilayah tersebut, entah sejak kapan.Tenganan sendiri, meski merupakan satu kesatuan wilayah desa dinas (pemerintah), sebenarnya lebih dikenal sebagai Bali Aga, sebutan untuk kampung sekaligus warga penghuninya yang asli Bali. Seperti telah disebutkan, Bali Aga Tenganan meliputi desa adat TP dan TDT.

Di Bali setidaknya masih menyisakan dua wilayah perkampungan yang disebut sebagai Bali Aga. Satu kampung Bali Aga lainnya adalah Terunyan di Kabupaten Bangli. Terunyan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, persisnya terletak di tepi timur Danau Batur, atau sebelah barat kaki Bukit Abang.Apa kekhasan Bali Aga Terunyan dan Tenganan? Warga Terunyan dan Tenganan, seperti mayoritas warga Bali lainnya, adalah pemeluk Hindu. 

Bedanya, Bali Aga tidak mengenal kasta dalam strata kehidupan masyarakatnya serta tidak mengenal tradisi kremasi atau pembakaran mayat. Komunitas Bali Aga juga hanya mengakui sebagai keturunan langsung dari India, bukan turunan Majapahit (Jawa, 1294-1478) yang menaklukkan Bali abad XIV.

Selain itu, kedua perkampungan Bali Aga masih menyimpan kekhasan masing-masing. Sebagai contoh di Terunyan, mayat-mayat tidak dikuburkan. Setiap ada warga yang meninggal, mayatnya hanya ditutup dengan kain putih. Selanjutnya didindingi dengan ancak saji (rangkaian anyaman bambu) lalu diletakkan di bawah pohon kemenyan.

Sementara Bali Aga Tenganan masih dengan kekhasan khusus lagi. Salah satu di antaranya adalah perang pandan tadi. Keunikan lainnya adalah dari rangkaian upacara adat dan agamanya. Sebut saja misalnya upacara bernama medaha (seremoni akil balik bagi gadis-gadis yang beranjak dewasa) atau teruna bagi kaum remajanya. Ada lagi rangkaian upacara keagamaan yang disebut saseh kasa, saseh karo, saseh katiga, dan saseh kapat.

Masih di Tenganan, sebagian bangunan rumah atau pagar kampungnya tetap bertahan dengan konstruksi kuno, yakni dari bata. Namun, berbeda dengan bata umumnya, bata bahan bangunan di Tenganan proses pembuatannya tidak melalui pembakaran. Pemasangannya pun tanpa perekat semen. Perekatnya adalah lumpur tanah bahan bata itu sendiri. Proses pemasangannya juga tidak serempak. Setidaknya melewati tiga tahap atau membutuhkan waktu jeda sekitar sembilan hari untuk pemasangan lanjutannya.

Kembali ke atraksi perang pandan yang menyuguhkan pemandangan kontras. perang pandan di Tenganan tak ada duanya .di Bali atau daerah lainnya. Atraksi itu merupakan salah satu kekhasan kampung ini sehingga harus terus dipertahankan dan dilestarikan.Perang pandan bukanlah atraksi yang akan berakhir dengan posisi kalah atau menang bagi para pelaganya. 

Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

Pemujaan terhadap Dewa Indra ini juga ternyata menyimpan kisah unik, setidaknya di lingkungan masyarakat Tenganan—entah di TP atau TDT. Merujuk mitologinya, kawasan Tenganan dan sekitarnya di waktu silam diyakini berada di bawah kekuasaan seorang raja yang lalim dan otoriter.


Raja kejam dan lalim bernama Maya Denawa itu, menurut kisahnya, bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Menyaksikan perilaku Maya Denawa yang semakin kejam dan bengis, para dewa di surga pun murka, yang selanjutnya mengutus Dewa Indra dengan tugas khusus memimpin pertempuran melawan Maya Denawa. Melalui pertempuran sengit, Maya Denawa dapat dilumpuhkan dan Dewa Indra lalu tampil sebagai penggantinya.

Sementara sumber lain menggambarkan, Tenganan diyakini berasal dari zaman Raja Bedahulu, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad XIV. Desa asli Bali ini menurut catatan sejarahnya pernah tertimpa kebakaran hebat tahun 1841. 
Bersama rumah dan harta lainnya, kebakaran juga memusnahkan dokuman awig-awig atau aturan desa adatnya. Awig-awig penggantinya yang menjadi panduan masyarakat adatnya hingga sekarang adalah dokumen baru hasil karya para tetua leluhur Tenganan, tahun 1842. Penyusunan awig-awig baru ini dilakukan para tetua setelah mereka memperoleh restu dari Raja Klungkung dan Raja Karangasem saat itu.

3. Gebug Ende
Musim kemarau, di Desa Seraya Karangasem belum berakhir. Hujan yang dinanti-nanti belum juga menunjukkan tanda akan turun. Bagi masyarakat Desa Seraya, Karangsem kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.
Dari hasil paruman desa, tercetuslah untuk kembali melaksanakan ritual memohon turun hujan di desa mereka yakni Gebug Ende. Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebus Seraya. Kemungkinan, untuk mengingat desa unik yakni seraya ini. Gebud Ende hanya  dimainkan kaum pria baik dewasa maupun anak-anak.  Gebug Ende  berasal dari kata gebug dan ende.
Gebug artinya adalah memukul sedangkan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5  hingga 2 meter. Sementara alat untuk menangkis disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.

Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. 
Seperti terlihat sore itu sejak pukul 15.00 di lapangan Merajan, Seraya Barat telah memadati areal lapangan desa tersebut untuk menyaksikan dari dekat permainan yang menguji nyali ini. Anak-anak hingga dewasa tampak bersuka ria menanti permaianan ini.  Menariknya atraksi ini memberikan  membuat penonton pun  dari luar desa datang meramaikannya.
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk  menentukan areal ini disesuaikan degan kondisi areal saja. Sementara Untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali. Para juru banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi krama seraya.

Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. Pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para pemain dan penonton. Selain itu terselip juga pembekalan bagi pemain utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye)  memimpin pertandingan. Mereka inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.

Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan kelompok anak anak.  Tidak tampak rasa ketakutan pada tubuh kecil itu. Ende dan  Rotan pun ditarikan. Riuh penonton memberikan semangat kepada mereka untuk memainkannya.


Bisa dibayangkan betapa sakitnya bekas cambukan rotan apabila tergores di  badan.  Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa. Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan dari tamiang pun semakin kuat.  Pukulan dan Tangkisan  berlangsung sangat cepat.

Sorak penonton semakin  menyemangati nurani tersebut.  Disini saye  mengawasi permainan harus sigap untuk segera melerai pemain. Selain krama/masyarakat Desa Seraya bagi warga lain di luar Desa yang berminat dapat  menjadi pemain. 

Dipercaya hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus  untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai bilamana  satu pemain terdesak. Menurut Bendesa Pekraman Seraya, selain melestarikan tradisi turun temurun gebug ende adalah sebuah tarian suka cita penduduk desa seraya bertujuan memohon hujan kepada Pencipta Alam ini.  Selain itu unsur olahraga sangat ditekankan dalam permaianan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan dan tangkisan. Sebagai sebuah permainan tradisonal Gebug ende  telah dikenal hingga mancanegara. 
4. Perang Siat Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali ini ditonton oleh wisatawan asing.  Tradisi yang berasal dari Gianyar tetap lestari. Moment Perang Siat Sampian ini juga diabadikan puluhan photographer baik asing maupun lokal. Sebelum tradisi siat ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal Pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka.

Prosesi ini diikuti oleh para premas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau semeton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak.

Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil Sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.

”Nampiog, Ngober, Meguak-guakan dan Ngombak merupakan suatu proses penyucian sebelum upacara Siat Sampian dilakukan,” kata I Wayan Patra, Ketua Panitia Karya Pura Samuan Tiga dalam suatu kesempatan.

Lalu apa makna yang terkandung dalam tradisi ‘Siat Sampian’ ini?
“Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi,” jelas Patra.

Selain simbol perang terhadap kejahatan, ’siat sampian’ juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.

Pada abad ke-10 Masehi, di Pura ini digelar pertemuan besar antar berbagai sekte agama Hindu yang ada di Bali dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu.
Pertemuan ini menyepakati penyudahan konflik antar sekte agama Hindu di Bali dan menjadi awal konsep pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, serta penerimaan konsep Tri Murti (Tiga Dewa Utama) di setiap desa yang ada di Bali.

“Pada intinya, Siat Sampian itu bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (bumi), “ jelas Patra.
5. Perang Mekotek
Tradisi Grebek Mekotek atau perang kayu yang selalu dilakukan warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, di setiap perayaan Kuningan. Perang ini berbeda dari perang pada umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain. Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.

Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain.

Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. "Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa.

"Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.

Warga yang ikut dalam tradisi Mekotek ini mulai dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Generasi muda sengaja dilibatkan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya asli Desa Munggu ini. 
6. Perang Papah Biu
Masyarakat Desa Pengotan, Kecamatan/Kabupaten Bangli, masih melestarikan tradisi Perang "Papah Biu" menggunakan pelepah pisang yang jika di Kabupaten Karangasem dikelan sebagai "Perang Pandan" yang alatnya menggunakan pandan berduri.
Sesuai namanya, dalam Perang "Papah Biu" peserta dipersenjatai dengan pelepah pisang yang telah dipotong-potong sepanjang setengah meter. "Tidak ada aturan yang baku dalam Perang Papah Biu yang digelar oleh masyarakat setiap November ini. Para pemain bebas menggebuki lawan dan memukul dengan senjatanya, yakni pelepah pisang. Karena itu, katanya, banyak peserta yang terluka karenanya. Meskipun demikian, tidak ada rasa sakit di tubuh korban yang terluka serta tidak ada dendam.

"Sebenarnya tradisi Perang Papah Biu ini oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Tari Baris Babuang, yang sakral dan hanya ada satu-satunya di desa Pakraman Pengotan sebagai warisan ratusan tahun silam," katanya.

Jro Wayan Kopok mengemukakan, sebelum penampilan Perang Papah Biu oleh ratusan pemuda setempat, awalnya tarian ini dibawakan oleh para paduluan (pemuka adat).

Para paduluan ini, kata dia, dibagi menjadi empat kelompok. Masing-masing membawakan tari Baris Babuang, dengan gerakan yang sangat khas.

Di bagian akhir dari tarian ini lah, katanya, Perang Papah Biu mulai dilakukan. Para penari memukulkan senjata Papah Biunya kepada penari lainnya.

Namun yang lebih menarik, jelas Jro Wayan Kopok, adalah saat penampilan Tari Baris Babuang yang dibawakan secara massal oleh ratusan pemuda Desa Pengotan.

"Semua pemuda yang ada di Pengotan wajib ikut dalam Perang Papah Biu ini," katanya.

Dipimpin oleh salah seoarang "paduluan", tarian Baris Babuang yang dibawakan ratusan pemuda ini pun mulai dilakukan hingga tiga kali putaran.

"Seperti halnya penampilan para paduluan, diakhir tarian baris ini, perang papah biu pun kembali pecah," katanya.

Layaknya sebuah tawuran massal, kata Jro Wayan Kopok, para pemuda ini dengan beringas memukuli para penari yang lain.

Dia menjelaskan, selain sebagai bentuk persembahan ke hadapan Tuhan, kegiatan itu juga bertujuan untuk mempererat kebersamaan antarwarga.

Awalnya, Tari Baris Babuang, biasanya dilakukan tepat pada tengah malam, pukul 00.00 wita. Namun kini, seiiring dengan perkembangan umat, tarian ini sudah bisa dilakukan pada saat menjelang malam.

Sarana pelepah pisang ini, menurutnya, lantaran terkait dengan keberadaan Pura Tuluk Biu, di Gunung Abang, Kintamani.

"Selama ini, memang tidak ada prasasti yang bisa membuktikan itu. Namun, kami percaya dan yakin secara turun temurun, ada ikatan yang kuat dengan keberadaan Pura Tuluk Biu, Gunung Abang," kata Jro Kopok.


Demikian, semoga menambah wawasan kita. jika berkenan silahkan share pada rekan. salam
Sumber : Dari berbagai media informasi

Komentar :

ada 1
Anonymous said...
pada hari 

salut gan !!! keep posting !!! :D

Post a Comment

Sahabat terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga bisa memperkuat tali persahabatan online/offline kita. Blog ini Adalah Waqaf onlineku untuk semua, mohon jikalau ada yang tidak benar diluruskan, bagiku menjadi blogger adalah panggilan jiwa untuk membuka ruang bagi saujana. Hidup untuk memberi; Berilmu Amaliyah, Beramal Ilahiyah, Memberi Merupakan Puncak Kebahagiaan. Semoga manfaat. Salam

 
Cheap Web Hosting