Samudra Biru - Sekitar 100 meter dari asrama kepolisian, di kompleks Pekuburan Islam Lalle Lama, Kecamatan Watang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, hidup berdampingan dua janda miskin Becce (70) dan Indo Sitti (72).
Kedua janda tua miskin itu menumpang hidup di atas tanah sisa pekuburan dan bernaung hidup dalam rumah reot yang terbuat dari atap seng bekas berukuran tak lebih dari 2x3 meter.
Ironis memang, karena di sisa umurnya, keduanya tidak bisa menikmati hidup layak. Makan pun hanya diperoleh bantuan dermawan yang kebetulan mengetahui kondisi dan keberadaan mereka.
"Sebenarnya saya ada anak. Tapi mereka malu orang tuanya miskin. Saya memilih hidup sendiri, meski keadaan susah dan harus menumpang di sisa tanah pekuburan dari pada menyusahkan anak," kata Becce dalam bahasa Bugis, ketika dikunjungi Kompas.com, Selasa (18/4/2011).
Untuk kebutuhan sehari-hari, Becce mengaku hanya berharap dari pemberian para tetangga atau dermawan yang kebetulan melintasi rumah kumuh. Menanak nasi jika kebetulan ada beras atau memasak air, Becce mengandalkan tungku tuanya berbahan bakar ranting kayu, yang dikumpulkan dari sekitar areal pekuburan. Hampir 20 tahun mereka menumpang di atas tanah pekuburan.
Jika malam datang, Becce hanya menggunakan lampu minyak tanah sebagai penerangan. Beberapa bagian atapnya rumahnya di pasangi plastik bekas demi menghalau air hujan agar tidak menggenai rumahnya.
Tidur pun, Becce hanya menggunakan ranjang tua dari kayu beralaskan koran bekas. Ada kelambu lusuh di ujung ranjang, yang tiap malam di gunakannya untuk melindungi kulit keriputnya dari serangan nyamuk. "Saya tidak pernah ingin hidup susah sampai usia setua ini. Tapi mau apa lagi, Insyallah saya ikhlas," ungkapnya lirih.
Kondisi Indo Sitti jauh lebih memprihatinkan. Sulit beromunikasi dengan Indo karena ia mengalami gangguan pada pendengarannya. Setiap kali di ajak berbicara, Indo Sitti hanya menebar senyum dan sesekali mengangguk. Menurut Rahmi, tetangga kedua janda tersebut, jika Becce masih bisa memasak, mengambil air atau mencari kayu bakar, Indo Sitti nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.
"Yang paling susah Indo Sitti. Dia baru makan kalau ada yang memberinya makanan jadi. Karena orang tua itu betul-betul tidak bisa berbuat apa-apa. Jalan saja sudah susah. Dia ada anak, tapi penghasilannya tidak menentu karena hanya bergantung dari hasil menarik becak saja. Kalau anaknya pulang, baru dia makan," ungkapnya.
Meski demikian, warga sekitar kerap membantu. Meski, bantuan yang diberikan sangat terbatas. Dullah, warga setempat mengatakan, kalaupun ada orang dari kelurahan atau pemerintahan yang datang, hanya sebatas menanyakan kondisi mereka. Jatah raskin kedua janda tersebut pun lebih sering dijual ke warga lain karena mereka lebih sering tidak memiliki uang.
Kepala bagian Humas Pemerintah Kabupaten Pinrang H Hamka Machmud mengatakan, membantah kalau kedua janda miskin tersebut adalah warga Pinrang. Meski begitu, pemerintah kerap mengungjungi keduanya. Bahkan beberapa kali berupaya memindahkan keduanya dari areal pekuburan tersebut.
"Mereka diajak keluarganya pun menolak. Kami ingin membantu memindahkan ke tempat yang lebih layak juga di tolak. Mereka bersikeras bertahan tinggal di areal pekuburan. Kami sudah mengunjungi keduanya dan memberi bantuan," kilahnya.
Semoga kisah ini menjadi perenungan Anda yang menemu artikel ini, salam
sumber
Link kami: http://samudrabirucinta.blogspot.com/2011/04/kisah-dua-janda-tua-hidup-di-tanah.html
Link kami: http://samudrabirucinta.blogspot.com/2011/04/kisah-dua-janda-tua-hidup-di-tanah.html
sedihnya,