Samudra Biru - Ini kali melalui halaman samudra biru kami beranggapan kisah mereka layak pula untuk kita ketahui bersama. Para Perempuan Besi Itu ..., layaknya sebuah pekerjaan jika yang bernuansa keras dan terlebih menggunakan fisik adalah milik kaum Lelaki namun tidak halnya dengan yang kami bagikan ini. Seperti yang dilansir berita kompas berikut ini. Mari kita simak bersama.
Perjalanan menuju kaki Gunung Bawakaraeng adalah romantisme akan sawah hijau, pucuk pegunungan yang berselimut kabut, dan bentangan langit biru. Ini panorama sempurna yang memburamkan potret kemiskinan di wajah Nanneng (42), sang perempuan panre bassi (pandai besi) itu....
Tanah bergetar. Nanneng menghantamkan palu seberat lima kilogram untuk menempa besi panas membara. Tak sampai 20 pukulan, dia berhenti, mengambil napas, lalu mengelus lengannya. "Perempuan di sini kuat-kuat," ucapnya. Kanang (41), temannya, menimpali, kuat karena ditinggal pergi suami. Tawa mereka berderai, api dari tungku mendesis.
Ini sekelumit kisah dari pammanrean (bilik pandai besi) di Dusun Puncak, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar 115 kilometer dari Kota Makassar. Sebanyak 18 perempuan di desa ini bekerja untuk membuat parang, arit, dan pisau dapur.
Para perempuan ini dikenal hingga ke pusat kecamatan. Mereka dianggap sebagai perempuan besi yang tenaganya mengalahkan pria. Tiada yang menyadari, kehidupan di pammanrean adalah rangkaian kerapuhan yang berlangsung bertahun-tahun.
Kerapuhan itu mewujud dalam rupa Nanneng. Suaminya, Baharuddin si pencari kayu, meninggal sepuluh tahun lalu meninggalkan tiga anak dan kemiskinan. Satu-satunya pilihan bagi perempuan yang tidak tamat sekolah dasar seperti dia adalah menjadi panre bassi.
Nanneng adalah generasi ketujuh pandai besi di keluarganya. Ini pekerjaan yang dilakoni oleh mayoritas perempuan di Desa Gunung Perak karena suami lebih memilih bekerja di sawah dan merantau. Mereka belajar hanya dengan melihat dan kekuatan untuk mengayunkan palu bertambah karena kebiasaan.
Desakan ekonomi menyeret Nanneng ke pammanrean. Dia dibantu oleh dua sahi (pembantu) yang bertugas memompa tabung kayu agar api menyala dan menempa besi membantu Nanneng. Tujuh hari dalam seminggu, mereka bekerja sejak pukul 08.00 hingga 17.00.
Ini kerja keras dengan hasil yang minim. Untuk membuat satu parang, misalnya, dibutuhkan setengah kilogram besi tua, arang, dan dua sahi yang diupah Rp 2.500 untuk setiap batang parang. Parang yang ditempa masih harus dikikir sebelum dijual ke Pasar Manipi, sekitar lima kilometer dari Dusun Puncak, dengan harga Rp 35.000 per batang.
Pasar hanya berlangsung setiap Rabu dan para perempuan harus menyewa angkutan dengan biaya Rp 20.000 untuk menuju ke sana. "Kalau hanya laku satu saja, artinya tidak ada uang jajan untuk anak," tukas Nanneng.
Harus kuat
Para perempuan yang berjibaku di pammanrean hanya punya satu pilihan: menjadi kuat. Alam tempat mereka berdiam telah mengajarkan mereka untuk bertahan. Dusun yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 mdpl ini seakan tersembunyi dari hiruk-pikuk kegembiraan para pendaki yang menuju Gunung Bawakaraeng.
Jalan pedesaan selebar empat meter sudah diaspal, namun tiada angkutan umum yang lewat. Sangatlah jamak penduduk tua dan muda berjalan dengan santai dan perlahan untuk menuju sekolah serta pasar sembari menikmati sawah dan pegunungan di kiri-kanan jalan yang berliku tajam. Angkutan baru digunakan jika penduduk hendak menjual barang dalam jumlah banyak ke pasar.
Hasil alam yang bisa diandalkan hanya sawah yang dipanen dua kali dalam setahun. Sawah milik Nanneng yang katanya, "Malu sebut luasnya karena sangat sedikit", menghasilkan sepuluh liter beras saja. Beras itu hanya mencukupi kebutuhan dia dan tiga anaknya selama sebulan. Untuk itulah dia tetap menjadi panre bassi agar bisa membeli kebutuhan pokok.
Dusun yang dihuni sekitar 150 keluarga ini bak dusun kaum perempuan. Mayoritas pria merantau sejak belasan tahun lalu dan kembali tak tentu waktu. Ini juga yang mendorong Kanang menjadi sahi setelah suaminya, Yusuf, merantau menjadi buruh harian di Makassar hingga Jayapura.
Sejak anak sulung mereka berusia 40 hari, Yusuf sudah meninggalkan dusun dan hanya kembali dua bulan sekali. "Anak bungsu lahir pun tidak dilihat bapaknya," kata Kanang dengan nada datar.
Kebutuhan semakin banyak dan Yusuf semakin jarang pulang. Dari satu bulan menjadi tiga bulan hingga Kanang tidak lagi menunggu. "Yang penting uang bulanan datang," ucapnya.
Yusuf menitipkan uang belanja untuk istrinya kepada sopir truk di Makassar yang sebulan sekali membawa pesanan besi tua dari Makassar ke Dusun Puncak. Bagi Kanang, uang itu bisa dipakai untuk membeli beras, tetapi tidak akan menggantikan ketidakhadiran sosok ayah bagi lima anaknya.
Janji tinggal janji
Dari balik pammanrean, para perempuan tengah mempertahankan kehidupan kendati itu harus dibayar dengan kesehatan yang memburuk. Puluhan tahun bekerja dengan bara api, besi, dan tungku panas membuat kulit tangan Nanneng melepuh dan berbintik kecoklatan. Dia tidak menggunakan sarung tangan karena dianggap menghambat pergerakan.
Panre bassi lainnya, Halijah (50), mengeluhkan tangannya yang pegal-pegal setiap malam sehingga kerap sulit tidur. Paparan api dan serbuk besi dalam waktu lama membuatnya kerap batuk dan sesak napas. Tetapi, pergi dokter tak pernah ada dalam kamus mereka. Biaya ke dokter artinya mengurangi jatah untuk membeli beras.
Untuk mengurangi beban pandai besi, Kelompok Pandai Besi Maddakko, wadah bagi para panre bassi, sudah mengajukan permintaan bantuan blower untuk mengipasi tungku api dan gerinda ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sinjai.
"Kunjungan dari dinas ke sini sering, tetapi bantuan yang dijanjikan tidak pernah datang," ujar Ketua Kelompok Pandai Besi Maddakko Amir Huda.
Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar Prof Dwia Aries Tina menilai, kemiskinan mendorong para perempuan menjalani pekerjaan yang selama ini dianggap wilayah pria. "Itu dimaklumi, sekarang tinggal bagaimana pemerintah memberikan fasilitas yang memadai agar mereka tidak terus dijerat kemiskinan," ucapnya.
Di tengah pengabaian dari pemerintah, para perempuan di kaki Gunung Bawakaraeng ini menunjukkan, daya hidup mereka sekukuh besi, yang terus-menerus ditempa gelombang kehidupan.
sumber pelengkap: kompas.com
Komentar :
Post a Comment
Sahabat terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga bisa memperkuat tali persahabatan online/offline kita. Blog ini Adalah Waqaf onlineku untuk semua, mohon jikalau ada yang tidak benar diluruskan, bagiku menjadi blogger adalah panggilan jiwa untuk membuka ruang bagi saujana. Hidup untuk memberi; Berilmu Amaliyah, Beramal Ilahiyah, Memberi Merupakan Puncak Kebahagiaan. Semoga manfaat. Salam