SEBUAH KISAH PULUHAN TAHUN YANG LALU

cahaya di pekat malam


dalam mimpi malamnya seorang bapak bercerita. saat itu usia putra bungsunya baru tiga tahun, dengan selendang batik khas jawa melingkar membalut tubuh ringkih anaknya yang memerah tak berdaya kerna wabah. di gelap pekat malam tanpa pelita. berjalan diantara kabut malam dari gunung lawu. menyusuri jalan sepi di ujung desa yang tak bernama. dengan tatapan mata kosong pasrah padaNya. sesekali berhenti dalam gelap malam memandang wajah mungil di gendongan, memastikan sang anak masih bernafas.

ingatannya melayang, teringat segala upaya t'lah dilakukan hingga hal-hal yang diluar logika pengobatan pernah di jalankan namun tak jua memberikan hasil seperti yang di harapkan. menginginkan keceriaan sang anak bungsunya seperti dulu lagi.

teringat pula kehidupan keluarganya yang sangat sederhana beberapa anaknya harus merantau dalam usia yang masih belia. tak dapat melanjutkan sekolah karena keadaan. sementara sang istri setiap hari selepas subuh ke pasar, setelah semalaman tak tidur menganyam tikar untuk sekalian dibawa serta. sang istri bekerja serabutan sebagai buruh panggul, atau sesekali berjualan sayur kala ladang kecil mereka menghasilkan rimbun segar hasil bumi.

di pinggir palang pintu rel kereta, di gelar dagangannya dengan seadanya. beratapkan payung hitam sekedar untuk tempat berlindung dari sengatan matahari atau hujan yang sewaktu-waktu menyapa. jika bunyi khas tanda dari kereta hendak lewat, dia buru-buru bergegas merapikan dagangannya membawa ke sisi yang agak jauh. menunggu kereta yang nampak angkuh meliuk melibas lepas dari pandangan. kemudian kembali mengulangi kegiatannya selepas kereta berlalu. dia sebenarnya ingin memiliki tempat yang layak di kios pasar. namun tak ada kekuatan lebih untuk mewujudkan. apabila berjualan di sela-sela gang toko kerap kali di usir si pemilik atau petugas pasar. dengan terpaksa mereka akhirnya menempati di pinggir palang pintu rel kereta api tanpa terusik, kendati menyadari sangat mengganggu juga keselamatan diri. namun semua demi kelanjutan denyut nadi anak-anaknya yang menanti.

saat debu kemarau merenangi udara kota
serupa berlomba menerpa sebanyak yang mereka suka
menerjang membawa kibasan api di siang hari
meliuk menari di riuh rendahnya keramaian pinggir rel kereta

buat dia juga mereka-mereka tak surut nyali,
kendati matahari tak bersahabat merajam kulit
wajah-wajah anaknya jauh lebih perkasa
di banding gerah cuaca yang menerpa

hujan angin tak menjadi kendala,
sekalipun rasa nyeri menusuk tulang senjanya
untuk putranya jauh lebih berharga,
kendati hawa dingin menggigilkan raga

lelah letih yang mendera tak dirasa
demi bakti pada kelanjutan hidup sehari-hari
menuntut berdiri dengan tubuh tegar tiada keluh
keceriaan sang anak menjadi suluh semangat tak akan mati

di saat senja tenggelam meninggalkan sinar jingga. barang dagangan yang tersisa di masukkan ke dalam karung goni yang lusuh. melangkah pulang dengan rasa syukur yang mendalam membawa hasil buat anak-anaknya tercinta. berjalan kaki, sembari menggendong beban di pundaknya menyusuri rel kereta api, yang menghubungkan di ujung desa menuju gubuk sederhana berpapan anyaman bambu yang mulai lapuk di makan usia.

namun ada yang terasa beda kali ini, putra bungsunya tak lagi ada di pintu pagar menyongsong kepulangan ibu seperti biasanya, setiap hari saat menjelang maghrib putranya selalu berdiri di pintu pagar rumahnya dengan wajah ceria menyambut dengan berlari-lari kecil menggamit lengan sang ibu. sudah genap tujuh hari sang anak tergolek tak berdaya di dipan kayu tua peninggalan kakeknya.

di malam itu sang bapak terus berjalan ke arah barat seperti tak berujung pangkal, di sisi bahu kiri menyusuri jalan dengan langkah hati-hati. di sepanjang jalan tak satu pun rumah ditemui tiada pula manusia juga suara-suara binatang malam. yang terlihat hanya kabut putih samar menghampar seakan mengurung mereka, membawa angin dingin yang menusuk ari. dalam gelap pekat yang sunyi senyap sembari mendekap erat putranya, mencoba memberi sisa-sisa kehangatan dari raganya. sesekali mengusap lembut wajah anaknya yang sudah terlihat pucat pasi dalam diam. dengan kepasrahan yang teramat sangat dia bermunajat memohon dengan hati yang lirih menghujam ..

"duh Gusti ... apabila anak kami menurut-Mu akan lebih baik bila dia di sisi-Mu maka ambillah segera kami telah mengikhlaskannya, namun jika menurut-Mu anak kami kelak memberikan manfaat pada sesama maka sembuhkanlah .."





to be ...



anto hprastyo

Komentar :

ada 0 Komentar ke “SEBUAH KISAH PULUHAN TAHUN YANG LALU”

Post a Comment

Sahabat terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, semoga bisa memperkuat tali persahabatan online/offline kita. Blog ini Adalah Waqaf onlineku untuk semua, mohon jikalau ada yang tidak benar diluruskan, bagiku menjadi blogger adalah panggilan jiwa untuk membuka ruang bagi saujana. Hidup untuk memberi; Berilmu Amaliyah, Beramal Ilahiyah, Memberi Merupakan Puncak Kebahagiaan. Semoga manfaat. Salam

 
Cheap Web Hosting